Islam Sebagai
factor Utama Pembangkit Kesadaran Nasional Indonesia
sejarah
Indonesia mencatat bahwa pelopor gerakan kebangkitan adalah Boedi Oetomo yang
didirikan pada 20 Mei 1908. Padahal, dalam realitas sejarahnya, justru
keputusan Kongres Boedi Oetomo di Surakarta, menolak pelaksanaan cita-cita
persatuan Indonesia, 1928 M.
Walaupun
kongres ini dilaksanakan pada 1928, saat Boedi Oetomo sudah berusia 20 tahun
(1908 -1928 M), sikapnya sangat kontradiksi dan sangat eksklusif dengan
realitas gerakan nasional saat itu yang sedang membangun kesadaran nasional dan
membangun kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Boedi Oetomo menolak
pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia dan lebih mengutamakan sistem
keanggotaannya yang terbatas bangsawan suku Djawa, serta gerakannya sebagai
gerakan Djawanisme.
Dalam masalah
penyebab terjadinya kebangkitan nasional, George McTurner Kahin, 1970, dalam
Nationalism and Revolution In Indonesia, sangat berbeda dengan para penulis
sejarah dari Barat. Kahin lebih menekankan faktor utama penyebabnya adalah
Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia. Ditandaskan
bahwa terbentuknya integritas nasional dan tumbuhnya kesadaran nasional di
Indonesia, dipengaruhi oleh faktor utama berikut ini.
Ketiga factor tersebut, akibat deislamisasi sistem penulisannya, Islam tidak diakui sebagai pembangkit gerakan nasional. Justru Boedi Oetomo yang menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia sampai dengan kongresnya di Surakarta, 6-9 April 1928, oleh Kabinet Hatta diputuskan sebagai pelopor Kebangkitan Nasional.
Kongres BO
Menolak Pelaksanaan Cita-cita Persatuan Indonesia
Keputusan Kabinet Hatta tentang Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), jelas terpengaruh oleh tulisan H. Colijn, 1928, dalam Koloniale Vraagstukken van Hedenen Morgen (Pertanyaan Kolonial Hari Ini dan Esok).” Dalam tulisan ini, Boedi Oetomo sebagai organisasi dari siswa STOVIA, didirikan Mei 1908 di Jakarta. Pada tahun 1909 organisasi ini mendapat pengakuan sebagai Badan Hukum dan telah memiliki 10.000 anggota dan tersebar dalam 40 afdeelingen.”"
Boedi Oetomo
terlahir dari siswa School Tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA). STOVIA
baru didirikan pada 1902, sebagai perubahan dari Sekolah Dokter Djawa dan lama
studinya tiga tahun. Siswanya berasal dari Sekolah Dasar Bumiputera-Inlandsche
school yang lama sekolahnya lima tahun. Demikian penjelasan Soemarsono Mestoko,
1986, dalam Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman. Selanjutnya,
dijelaskan pula bahwa Hollandsch Inlandschool (HIS) baru didirikan pada 1914
dan lama studinya tujuh tahun.
Timbullah
pertanyaan, berapa usia pendiri Boedi Oetomo ketika belum lulus, bila
organisasi ini didirikan pada 20 Mei 1908? Saat mendirikan Boedi Oetomo,
Soetomo masih aktif sebagai siswa STOVIA, Saat itu, HIS belum ada karena baru
didirikan pada 1914 M. Dengan demikian, Soetomo tentu berasal dari Sekolah
Boemipoetera (Inlandsche school), Sekolah Rakyat, atau Sekolah Dasar yang lama
studinya lima tahun.
Ketika Soetomo masih sebagai siswa STOVIA, 20 Mei 1908, walaupun berasal dari Sekolah Dasar, sudah berusia 20 tahun." Adapun ideologi yang ingin ditegakkannya adalah Nasionalisme Jawa sebagai lawan dari nasionalisme yang diajarkan oleh Djamiat Choir, yakni Islam, 17 Juli 1905. Pengaruh Nasionalisme Timur Tengah sangat kuat terhadap Djamiat Choir.
Guna
mengimbanginya, para Boepati pendukung Boedi Oetomo, merasa perlu untuk
menggantikan kepemimpinan Soetomo dalam Boedi Oetomo. Dengan demikian, pada
Kongres Pertama Boedi Oetomo di Jogjakarta pada 3 Oktober 1908 M, pimpinan
organisasi beralih ke tangan Boepati Karang Anyar, Raden Adipati Tirtokoesoemo
sebagai Presiden Boedi Oetomo, 1908 - 1911 M.40
Pada saat
itu, boepati merupakan tangan kanan pelaksana Indirect Rule System Sistem
Pemerintahan Tidak Langsung) dari pemerintahan kolonial Belanda, Oleh karena
itu, boepati bersikap sangat loyal kepada pemerintah kolonial Belanda. Lalu,
bagaimana sikap Boedi Oetomo yang dipimpin oleh para bupati terhadap gerakan
kebangkitan kesadaran nasional? Jika maknanasionalisme sebagai gerakan
perlawanan terhadap imperialisme, berarti gerakan nasionalisme melawan
pemerintah colonial Belanda. Sementara itu, boepati adalah pelaksana dari
sistem pemerintahan tidak langsung imperialis Keradjaan Protestan Belanda.
Mungkinkah para boepati sebagai pimpinan Boedi Oetomo dapat berpihak kepada
gerakan kebangkitan nasional yang berjuang mengakhiri penjajahan?
Dalam Kongres
Kedua Boedi Oetomo di Jogjakarta, 11-12 Oktober 1909,Dr. Tiipto Mangoenkoesoemo
mengusulkan agar Boedi Oetomo membuka sistem penerimaan keanggotaan yang tidak
terbatas dari bangsawan Jawa semata, tetapi terbuka bagi Indiers (“Anak
Hindia"), yang lahir, hidup dan mati di tanah Hindia. Usul Dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo tersebut ditolak" oleh Dr. Radjiman Wediodipoero atau Dr.
Radjiman Wediodiningrat.
Ternyata pada
Algemene Vergadering Boedi Oetomo di Bandung (1915 M), sikap Djawanisme semakin
menguat. Keputusannya antara lain: mengekalkan dan mengoeatkan Agama
Djawa." Sejalan dengan tujuan Boedi Oetomo sebagai pengimbang Djamiat
Choir, diputuskanlah Boedi Oetomo mendasarkan laku utamanya menurut ajaran
Agama Djawa. Suatu ajaran yang sangat bertentangan dengan pengertian amal saleh
dari ajaran Islam. Pengertian saleh adalah cocok atau sesuai dengan ajaran
Allah dan Rasul-Nya.
Walaupun
Boedi Oetomo sudah berusia sembilan tahun, tetap tidak berpihak kepada ajaran
Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas rakyat saat itu. Lalu bagaimana
gerakan Tri Koro Dharmo-Jong Java sebagai onderbouw dari Boedi Oetomo. Tentu
orientasinya sejalan dengan induknya, Boedi Oetomo, yakni menentang Islam. Tri
Koro Dharmo tidak dapat menerima saran Abdoel Moeis dalam vergadering di
Bandung.
Hal ini
terbukti dari sikap Tri Koro Dharmo yang menolak agenda diskusi yang
membicarakan agama Islam, Mereka lebih mengutamakan membicarakan masalah
teosofi, ajaran Kejawen, dan agama non-slam lainnya. Seperti halnya dengan
Boedi Oetomo, Tri Koro Dharmo pun berbicara masalah bahasa dari kesenian Jawa
sebagai budaya bangsawan Jawa, Hal tersebut tidak sejalan dengan tuntutan
nasional mayoritas masyarakat Jawa saat itu, Akibatnya, Sjamsoeridjal keluar
dari Tri Koro Dharmo dan atas nasihat Agoes Salim kemudian membangun Jong
Islamieten Bond (JIB), 5 Jumadil Akhir 1343, Kamis Pon, 1 Januari 1925 M,
Diikuti pula dengan bagian wanita, Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling
(JIBDA). Dari fakta sejarah ini, terbukti di kalangan bangsawan Jawa terdapat
kelompok: bangsawan Djawa Kedjawen dan bangsawan Jawa Islam.
Dapat
dipahami pula mengapa Boedi Oetomo melalui medianya Djawa Hisworo, mengangkat
artikel yang menghina Rasulullah Saw. Tidakkah sasaran artikel tersebut, sebagai
reaksi Boedi Oetomo terhadap keputusan National Congres Centraal Syarikat Islam
(Natico) di Bandung (1916 M) di Gedung Concordia atau sekarang Gedung Merdeka
di Jalan Asia Afrika Bandung? National Congres Centraal Sjarikat Islam saat itu
menuntut Se/f Government-Home Rule-Zelfbestuur (Pemerintah Sendiri atau
Indonesia Merdeka.
Tuntutan
kongres tersebut adalah Indonesia Merdeka yang pasti mengancam eksistensi
Boepati atau Regent yang tergabung dalam Boedi Oetomo, Tidakkah para Boepati
sebagai kepanjangan tangan pemerintahan kolonial Belanda serta imperialis
Keradjaan Protestan Belanda? Oleh karena itu, melalui Djawa Hisworo, Boedi
Oetama memberikan reaksinya langsung menghina Rasulullah Saw.
Hal ini
dijawab oleh Sjarikat Islam dengan membangun Tentara Rasoeloellah Saw yang
menuntut agar penulis di Djawa Hisworo meminta maaf ke Indonesia dan menarik
pernyataan tentang penghinaannya terhadap Rasulullaah SAW.
Mr. A.K.
Pringgodigdo, 1960, dalam Sedjarah Pergerakan Rak Jat Indonesia, menuliskan
bahwa di Boedi Oetomo di Surakarta (6-9
April 1928), memutuskan Boedi Oetomo
menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia, Walaupun sebenarnya Boedi
Oetomo sudah berusia 20 tahun (1908-1928), keputusannya menolak pelaksanaan
cita-cita persatuan Indonesia
Artinya,
Boedi Oetomo bersikeras menjadikan organisasi tertutup bagi segenap suku bangsa
Indonesia lainnya walaupun hanya sebagai anggota. Hal ini karena Boedi Oetomo
hanya untuk bangsawan Jawa, tetapi terbuka untuk orang-orang yang dipersamakan
haknya dengan orang Eropa. Yang dipersamakan haknya dengan orang Eropa. Dengan
alasan Cina sebagai warga negara kelas dua dan Belanda sebagai warga negara
kelas satu, mereka dapat diterima sebagai anggotanya. Sebaliknya, suku bangsa
Indonesia lainnya, non-Jawa, dan suku Jawa nonbangsawan, tidak dapat diterima
sebagai anggotanya.
Dari realitas
fakta sejarah, Boedi Oetomo jelas-jelas menolak pelaksanaan cita-cita persatuan
Indonesia, tetapi mengapa diputuskan hari lahirnya 20 Mei 1908, sebagai Hari
Kebangkitan Nasional Indonesiat Tidakkah lebih tepat bila dinilai sebagai Hari
Kebangkitan Kembali Kaum Feodal Jawa.
Penulis
pernah mengangkat artikel, “Benarkah 20 Mei Sebagai Hari Kebangkitan Nasional?
Hari Kebangkitan Sarekat Dagang Islam 16 Oktober 1905, Lebih Meyakinkan”
Artikel tersebut dimuat di Harian ABADI, Senen, 2 Rabiul Awwal 1389 H atau 19
Mei 1969, Kemudian disusul oleh Mohamad Roem, “Kongres Nasional Pertama
Centraal Sarekat Islam”. Harian ABADI, Senin, 22 Djuni 1970, 17 Ra biul Achir
1390 H.
Berdirinya
Boedi Oetomo sebagai kebijakan balance of power dari pemerintah kolonial
Belanda, Organisasi ini didirikan untuk mengimbangi gerakan kebangkitan
pendidikan Islam yang dipelopori oleh Djamiat Choir, 13 Jumadil Awwal 1323,
Senin Kliwon, 17 Juli 1905, di Jakarta, oleh kelompok sayid atau bangsawan Arab
yang terdiri atas:
1.
Sajid Al Fachir bin
Abdoerrahman al Masjhoer,
2.
Sajid Mohammad bin
Abdoellah bin Shihab,
3.
Sajid Idroes bin Achmad
bin Shihab,
4.
Sajid Sjehan bin Shihab.
Para sayid
tersebut, mendirikan sekolah di Tanah Abang dan Krukut Batavia. Waktunya
bersamaan dengan akan dilaksanakan Politik Etis di bidang pendidikan. Dengan
adanya sekolah ini, Djamiat Choir memerlukan guru. Untuk itu, dimintakan guru-guru
dari Al-Azhar Kairo, Mesir. Aktivitas Pendidikan dengan mendatangkan guru-guru
dari timur tengah yang sedang bangkit gerakan nasionalnya merupakan ancaman
bagi kelestarian penjajah di Indonesia.
Apalagi enam tahun kemudian, Djamiat Choir berhasil mendatangkan Syeikh Ahmad Syurkati seorang reformis yang berasal dari Sudan. Sudan adalah tempat lahir Imam Mahdi yang berhasil mengganjal usaha imperialis Keradjaan Protestan Anglikan Inggris dalam menanamkan kekuasaannya di Sudan. Hanya karena bantuan Mesir, Sudan menjadi negara terjajah oleh Inggris. Walaupun Syekh Syurkati sendiri sebagai tokoh pembaruan Islam, ia tidak ikut serta mengembangkan keyakinan atau ajaran tentang Imam Mahdi.
Semula,
keinginan Djamiat Choir mendatangkan guru dari Al-Azhar Mesir, tidak segera
dapat dipenuhi. Saat itu, Syekh Syurkati masih studi di Makkah. Baru pada 1911
M, Syekh Syurkati menjadi guru Djamiat Choir. Sebagai guru, Syekh Syurkati pun
menularkan semangat gerakan nasional yang sedang terjadi di Timur Tengah,
kepada murid-muridnya di Batavia.
Untuk
mengantisipasi dan mengimbangi Djamiat Choir, atas inisiatif Bupati Serang
Banten, P.A.A Achmad Djajadiningrat, dibangun sebuah organisasi imbangan yang
berada di Batavia. Organisasi dipimpin dari kalangan bangsawan Jawa.
Adapun nama organisasi tandingannya, menurut P.A.A. Achmad Djajadiningrat, harus sama pula seperti Djamiat Choir. Untuk itu, dipilihlah nama Boedi Oetomo." Nama ini sebagai pengalihbahasaan dari bahasa Arab ke bahasa Jawa. Tidakkah Djamiat Choir berarti "jamaah yang baik'? Kemudian jika diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa menjadi Boedi Oetomo. Jika Djamiat Choir lebih mengutamakan amal saleh menurut ajaran Islam, Boedi Oetomo juga mengutamakan laku utama menurut ajaran Agama Jawa.
agama Djawa
mengajarkan manusia tidak perlu mendirikan shalat.
Kebijakan pemerintah colonial
Belanda dengan landasan imperialisme modernnya, dalam penguasaan Nusantara
melibatkan pemilik modal asing. Indonesia dijadikan sumber bahan mentah dan
pasar bagi industry penjajah Barat. Jika demikian realistis tantangan yang
dihadapi oleh Ulama?
Hadji Samanhudi 1285 – 137 (1285 -
1376 H/1868 - 1956 M), segera memberikan jawaban yang cepat dengan membangun
organisasi Sjarikat Dagang Islam, 16 Sya'ban 1323, Senin Legi, 16 Oktober 1905,
di Surakarta. Guna memperluas informasi dalam upaya pembentukan organisasi
niaga tersebut, diterbitkanlah terlebih dahulu buletin, Taman Pewarta, yang
mampu bertahan selama tiga belas tahun, 1902-1915 M. Selanjutnya, segera
membangun organisasi kerjasama niaga dengan para wirausahawan Cina dengan nama
Kong Sing.
Pemerintah kolonial Belanda menilai
berdirinya Sjarikat Dagang Islam (SDI) ini bahaya besar bagi eksistensi dan
perkembangan imperialis Belanda. Apalagi dengan adanya kerja sama niaga, antara
Pribumi Islam dengan Cina, dengan nama organisasi niaganya, Kong Sing. Oleh
karena itu, pemerintah kolonial Belanda merasa perlu membangun organisasi
tandingan
Kebangkitan Sjarikat Dagang Islam
merupakan lambang awal dari suatu keberhasilan gerakan pembaruan sistem
organisasi Islam. Hal ini karena suatu pembaharuan atau reformasi memerlukan
ketangguhan organisasi dan kontuinitas perolehan dana. Upaya kebangkitannya
menjadikan pasar sebagai lahan operasi aktivitasnya. Di pasar, Sjarikat Dagang
Islam dapat membangun perolehan dana. Guna menjaga kontinuitas gerakannya,
dibangkitkanlah organisasi niaga arta, 1902-1915, yang
Hadji Samanhoedi sebagai seorang haji dan wirausahawan, tidak hanya memiliki karyawan pabrik batiknya semata, tetapi juga para pedagang di pasar. Dengan menamakan organisasinya dengan nama Islam, gerakan usahanya yang Islami dan dipimpin oleh seorang haji, menjadikan Syarikat Dagang Islam memperoleh tempaat di hati masyarakat muslim secara luas. SDI memperoleh tempat di hati masyarakat Muslim secara luas. Dibawah kondisi kebangkitan Ulama melalui aktivitas pasar, pemerintah colonial Belanda berupaya mendirikan organisasi tandingan, seperti Syarikat Dagang Islamiyah di Bogor pada tahun 1909 dengan dipimpin oleh R.M.T Radensoerjo.
R.M.T. Adhisoerjo (1880 - 1919 M),
sebagai sekretaris Sarikat prijaji, I906 M, ternyata pelaku yang terpilih dan
diangkatlah sebagai pendiri Sarekat Dagang Islamijah di Bogor, 1909 M.
Organisasi terakhir ini, sebagai organisasi tandingan,dengan label Islamijah.
Namun, dalam upacara peresmiannya, dihadiri pula oleh Asisten Residen Bogor,
CJ. Feith yang sekaligus diangkat sebagai Pelindung. Mengapa demikian?
Selain itu, perlu diperhatikan pula,
Sarikat Prjiaji memiliki media cetak, Medan Prijaji (1907-1912 M). R-M.T.
Adhisoerjo sebagai Hoofd Redacteur (Pimpinan Redaksi) yang berkedudukan di
Buitenzorg atau Bogor. Adapun Sarikat Prijaji, diketuai oleh Raden Mas
Prawirodi ningrat, Jaksa Kepala Betawi, penyandang bintang Ridder Oranje
Nassau. Antara Sarikat Prijaji dengan Boedi Oetomo, menurut Pramoedya Ananta
Toer dalam Sang Pemula, terdapat kesamaan tujuan. R.M.T. Adhisoerjo juga
menjadi anggota dari Boedi Oetomo Afdeeling Il Bandung.
Dari pengalaman kerja ini, R.M.T.
Adhisoerjo, pribadinya sangat dikenal oleh para pejabat pemerintah kolonial
Belanda dan Boepati. Sebelum bekerja sebagai redaktur dan redaktur pendamping,
ia terlebih dahulu bekerja sama dengan Boepati Cianjur, Raden Adipati Aria
Prawiradiredja yang diangkat sebagai Boepati pada 24 Agustus 1864, pada saat
Tanam Paksa (1830 - 1919 M) masih berlaku.
Atas jasa Boepati Cianjur terhadap
pemerintah kolonial Belanda, ia memperoleh bintang Orde Oranje Nassau, SWO, dan
Songsong Kuning (Payung Kuning). Hal ini karena berhasil membantu pelaksanaan
Tanam Paksa Kopi di Cianjur. Dampak selanjutnya, Tanam Paksa dapat berlangsung
hingga 1919 M. Oleh karena itu, Raden Adipati Aria Prawiradiredja, menjadi
boepati terkaya di Pulau Jawa dari keuntungan Tanam Paksa Kopi. Kekayaannya
didapat dari presentase keuntungan Tanam Paksa per tahun, f.40.000 ditambah
gaji resminya yang besar.
Tidaklah mengherankan bila Boepati
Cianjur yang kaya raya ini, bersedia menjadi donatur, Soenda Berita (1903 -
1905M) yang dipimpin oleh R.M.T. Adhisoerjo. Walaupun demikian, media cetak
ini pun tidak mampu berumur panjang. Hal ini karena R.M.T. Adhisoerjo pergi ke
Pulau Bacan, Maluku dan menikah dengan Prinses Fatimah, saudara Soeltan Oesman
Sjah. Sekembalinya dari P. Bacan, R.M.T. Adhisoerjo tidak melanjutkan
penerbitan Soenda Berita.
R.M.T. Adhisoerjo malah kemudian memimpin penerbitan buletin Medan Prijaji (1907-1912 M) dan Poetri Hindia (1 908 - 1911 M), berkala wanita yang memperoleh hadiah penghargaan dari Iboe Soeri Emma, 1909 M. Mengapa mendapat penghargaan yang demikian besar ini? Padahal, Berkala Poetri Hindia ini, dipimpin oleh pria. Selain dipimpin oleh R.M.T. Adhisoerjo, pemimpin utama berkala ini adalah R.T.A. Tirtokoesoemo, Regent Karang Anyar dan pimpinan Boedi Oetomo setelah kongres Boedi Oetomo di Jogjakarta.
Muhammadiyah ditandingi oleh Taman
Siswa
Sekolah-sekolah Muhammadiyah dari
segi jumlah dan keragamannya jauh lebih besar daripada
Taman Siswa bentukan Ki Hadjar Dewantara yang
tanggal lahirnya dijadikan Hari
Pendidikan Nasional (Hardiknas). Taman Siswa pun baru berdiri 3 Juli
1922. Sementara Muhammadiyah berdiri 18 November 1912, bahkan KH Ahmad Dahlan sudah mendirikan
sekolah tanpa badan hukum tahun 1911.
Tak heran, menurut sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara dalam buku Api Sejarah, penetapan Hari Pendidikan Nasional dilakukan ketika Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan dijabat oleh Ki
Hadjar Dewantara yang menetapkan hari lahirnya
sendiri sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Sekolah Muhammadiyah bercorak Islam dan nasionalis, sedangkan Taman Siswa bercorak
kebatinan dan Theosofi Barat.Tokoh Theosofi adalah tokoh yang mengusahakan
bersatunya pribumi dengan Belanda dalam
Uni-Indonesia Belanda, bukan kemerdekaan Indonesia.
Buya Hamka menulis dalam bukunya Perkembangan Kebatinan di Indonesia bahwa Taman Siswa mengamalkan apa yang mereka sebut sebagai Panca Dharma alias Lima Pengabdian, yaitu:Kemerdekaan, Kodrat Alam, Kebudayaan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan.Taman Siswa tidak menyebutkan Ketuhanan sehingga tidak sesuai dengan Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Juga, tidak sesuai dengan pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yaitu “ Negara Berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”. Seorang Residen Belanda, Janquire, juga dengan tegas menyatakan bahwa cita-cita Taman Siswa “anti-Tuhan” dan “anti-agama”. (Artawijaya, “Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara”).
Sekolah-sekolah Muhammadiyah secara garis besar dibagi dua:Sekolah
Agama: Muallimin, Muallimat, Diniyah ibtidaiyah, Diniyah Wustho dan sekolah
Tabligh Kulliyatul Muballighin. Sekolah Umum terdiri dari: Volks School
Muhammadiyah (sekolah Rakyat/Sekolah Dasar), Vevrolg School (lanjutan Sekolah Rakyat) Normal School, Cursus Voor Volks Onderwiojzer (CVO), kursus untuk
calon guru Vervolg School, HIS, SChakel
School, MULO, AMS, HIK. Sementara Taman Siswa hanya 1 macam.
Sekolah Muhammadiyah juga berkembang. Cabangnya ke seluruh Indonesia dan masih eksis sampai
sekarang. Sedangkan Sekolah Taman Siswa hanya di
situ-situ saja dan tidak terlalu eksis hingga sekarang.
MC Ricklefs seorang guru besar dari Monash University Australia menulis bahwa kelahiran Taman Siswa
adalah bertujuan untuk membendung dan
meredam Pendikan Muhammadiyah yang cenderung radikal dan Non Kooperatif. Artinya, Pendidikan Muhammadiyah dengan asas Islam lebih jelas menyuarakan kemerdekaan
Indoesia dan tanpa kompromi dengan Belanda. Ki Hadjar Dewantara lebih dekat dengan orang Belanda melalui gerakan Freemasonry-nya. Ada beberapa
buku yang menjelaskan soal ini seperti buku Tarekat Mason Bebas dan buku
Gerakan Theosofi karya Iskandar P.
Nugraha. Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk
mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kiai Dahlan, menurut Adaby Darban dalam buku Peran Serta Islam dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, secara
praktis-organisatoris untuk mewadahi dan
memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911.
Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kiai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang
dikembangkan Kiai Dahlan secara informal. Dalam tulisan Djarnawi Hadikusuma (1911), disebutkan kampung Kauman Yogyakarta, merupakan
”Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah
sekolah agama, yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam waktu itu. Kegiatan belajar-mengajar justru mengambil tempat di dalam
sebuah gedung milik ayah Kiai Dahlan, dengan
menggunakan meja dan papan tulis. Mengajarkan agama dengan cara baru, di samping memberikan
pengetahuan ilmu-ilmu umum. Jadi sekarang, layakkah 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional? Sebenarnya Hari Pendidikan adalah pada 1
Agustus, hari lahirnya KH Ahmad Dahlan–bukan 2 Mei, tanggal lahirnya Ki Hadjar Dewantara.
Sumber : Buku
Api Sejarah Jilid Kesatu karya Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara.
https://sangpencerah.id/2014/05/taman-siswa-wujud-ketakutan-ki-hadjar/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar