Home

Sabtu, 19 November 2022

GELAR WICARA

Gelar Wicara (Talk Show)

Diakui ataupun tidak, adanya gelar wicara bisa dibawakan dengan formal maupun santai dan kadang pendengar atau pemirsa bisa memberikan tanggapan melalui telepon. Gelar wicara merupakan acara siaran langsung yang tidak dapat diedit atau potong. Oleh karenanya, pimpinan produksi harus pandai-pandai memilih narasumber, jangan sampai salah pilih. Narasumber haruslah menguasai, mempelajari, dan memiliki pengalaman luas atau ahlinya yang berhubungan dengan masalah yang sedang diperbincangkan.

Pengertian Gelar Wicara (Talk Show)

Gelar wicara adalah serangkaian bentuk kegiatan yang disiarkan secara langsung di televisi atau radion yang berupa perbincangan atau diskusi tentang topik tertentu antara pemandu acara dengan narasumber, bisa satu orang atau sekelompok orang.Hal-hal yang harus dilakukan pemandu gelar wicara yang mewawancarai narasumber sebagai berikut:

1.     Membangun hubungan yang baik dengan narasumber: Sebelum wawancara berikanlah perhatian kepada narasumber untuk membangun hubungan yang baik, misalnya, “Saya sangat suka dengan dasi yang Anda pakai!” perkataan tersebut segera menciptakan suasana yang nyaman dan santai untuk wawancara.

2.     Pertanyaan yang diajukan tajam: ajukan pertanyaan setajam-tajamnya dan sedalamdalamnya sambil mengorek informasi yang sejelas-jelasnya dari narasumber. Pemandu gelar wicara harus selalu dingin dan tetap pada jalur yang mengarahkan pembicaraan.

3.     Hormati narasumber:  pemandu harus santun dan hormat kepada narasumber dan menempati posisi yang sejajar dengan narasumber. Berdebatlah selama pemandu siap dengan pengetahuan yang mendalam tentang topik bahasannya. Jangan memojokkan narasumber dan jika narasumber terlihat emosi, hendaknya pemandu tidak menanggapinya dengan perasaan kesal juga.

4.     Ethos, pathos, dan logos: saat wawancara pemandu dan narasumber harus memiliki tiga cara untuk memengaruhi pendengar atau pemirsa, antara lain: ethos, yaitu sanggup menunjukkan kepada khalayak ramai bahwa memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat; pathos, yaitu menyentuh hati khalayak, dan logos, yaitu meyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti.

5.     Humor dan celetukan: Sentuhan celetukan dan humor diperlukan dalam wawancara. Untuk menarik perhatian pemirsa gunakan humor untuk menyampaikan pesan dengan kata lain.

6.     Mengakhiri wawancara: (1) ingatkan kepada narasumber bahwa waktunya sempit, (2) umpan narasumber dengan humor ringan, plesetan, dan hal lain, (3) menyetir dijadikan penutup wawancara dengan sengaja membuat narasumber menjawab dan mengulangi kata kunci dan data spesi¬ k, (4) sekaligus menegaskan pendapat narasumber, (5) buat simpulan.

Gelar wicara yang baik dilakukan dengan spontan, alias tidak diatur, di-setting sejak awal sedemikian rupa, misalnya dengan harus mengajukan “pertanyaan begini” dan mesti “menjawab begitu.” Begitu pun dalam mengajukan pertanyaan lanjutan, rumusnya hanya dua: spontan dan berbobot. Gelar wicara di radio lebih spontan daripada media televisi. Topik gelar wicara di radio dipilih sendiri oleh mayoritas pendengar.

Contoh Gelar Wicara atau Talk Show

Untuk contoh pelaksanaan gelar wicara ini. Misalnya saja;

1.   Mata Najwa (Metro TV)

Sisi menarik dari Mata Najwa adalah acaranya dibawakan secara eksklusif. Sehingga beliau Ibu Najwa Shihab yang cerdas dan kritis dalam bertanya, siapa pun yang menontonnya dapat dibuat terpukau. Narasumber yang diundang seringkali banyak menarik perhatian publik. Materi yang dibawakannya pun beragam tidak terbatas dari apa yang sedang ramai dibicarakan publik.

 

2.   Kick Andy (Metro TV)

Program ini dipandu oleh Bapak Andi F. Noya. Format acara ini dibuat santai dengan menghadirkan tokoh-tokoh inspiratif yang membuat talk show ini menjadi menarik.

3.   Ini Talk Show (Net)

Talk show ini dipandu Andre dan Sule serta dibantu oleh peran pembantu lainnya. Talk show sederhana yang sangat menghibur.

Cara Mengajukan Pertanyaan dan Tanggapan dalam Gelar Wicara

Pendapat narasumber dalam acara gelar wicara berisi pandangan-pandangan yang bersifat subjektif terhadap suatu masalah dari sudut pandang tertentu. Narasumber akan mempunyai pendapat yang berbeda walaupun permasalahannya sama, karena cara memandangnya berbeda dan faktor-faktor kepentingan yang berbeda pula.

Syarat diterimanya sebuah pendapat seseorang oleh publik karena faktor-faktor di bawah ini:

1.     Valid, artinya pendapat janganlah direkayasa, tetapi berdasarkan fakta dan data sebenarnya.

2.     Logis, artinya pendapat haruslah masuk di akal dengan alasan yang kuat.

3.     Ilustratif, artinya sebuah pendapat disajikan dengan gambaran nyata disertai contoh-contoh untuk memperjelas pemahaman yang lain.

4.     Mengandung otoritas, artinya pendapat yang disampaikan dari orang yang ahli  dalam bidang tertentu. Isi sebuah pendapat dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan dan kemanusiaan.

Gelar wicara diadakan secara langsung melalui media elektronik televisi dan radio. Diskusi  melului antara pemandu dengan narasumber. Pemandu dengan piawai mengorek semua informasi yang dibutuhkan sesuai dengan topik yang dibahas. Pendengar atau pemirsa tidak berada di studio hanya mendengar dan menyaksikan gelar wicara.

Diharapkan para pendengar dan pemirsa mengikuti acara tersebut dan menyimak dengan saksama. Biasanya ada sesi tanya jawab dan pemirsa atau pendengar bisa memberikan pertanyaan dan tanggapan melalui sambungan telepon.

Jika pendengar dan pemirsa ingin menyampaikan pertanyaan dalam gelar wicara, sebaiknya memerhatikan hal-hal berikut ini:

1.     Tanyakanlah pada bagian yang memang kurang dipahami oleh pendengar atau pemirsa.

2.     Tempatkanlah narasumber pada posisi yang lebih tinggi.

3.     Pendengar atau pemirsa yang bertanya tidak memaksakan pendapat hingga mengakibatkan narasumber dalam posisi yang sulit dan tertekan.

4.     Mengajukan pertanyaan dengan bahasa santun dan sopan.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyampaikan tanggapan pada gelar wicara:

1.     Tanggapan yang disampaikan harus berhubungan dengan topik pembicaraan.

2.     Sebuah tanggapan disampaikan dengan uraian yang padat dan tersusun rapi.

3.     Tanggapan harus terarah pada sasaran yang diinginkan sehingga dapat menarik perhatian.

4.     Gunakanlah kata yang sederhana dan kalimatnya mudah dipahami.

5.     Tanggapan dilengkapi dengan alasan, fakta, dan diperjelas dengan alasannya.

Demikianlah ulasan mengenai pembahasan tentang gelar wicara atau talk show yang di dalamnya secara kongrit memberikan pengertian gelar wicara, contoh gelar wicara di TV atau radio, beserta cara mengajukan pertanyaan dan tanggapan dalam gelar wicara.

 


Sumber : https://www.pinhome.id/blog/pengertian-gelar-wicara-talk-show-dan-contohnya-lengkap/

 

TONGGAK SEJARAH AWAL PERJUANGAN MENGUSIR PENJAJAH

 


TONGGAK SEJARAH AWAL PERJUANGAN MENGUSIR PENJAJAH

Islam Sebagai factor Utama Pembangkit Kesadaran Nasional Indonesia

sejarah Indonesia mencatat bahwa pelopor gerakan kebangkitan adalah Boedi Oetomo yang didirikan pada 20 Mei 1908. Padahal, dalam realitas sejarahnya, justru keputusan Kongres Boedi Oetomo di Surakarta, menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia, 1928 M.

Walaupun kongres ini dilaksanakan pada 1928, saat Boedi Oetomo sudah berusia 20 tahun (1908 -1928 M), sikapnya sangat kontradiksi dan sangat eksklusif dengan realitas gerakan nasional saat itu yang sedang membangun kesadaran nasional dan membangun kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Boedi Oetomo menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia dan lebih mengutamakan sistem keanggotaannya yang terbatas bangsawan suku Djawa, serta gerakannya sebagai gerakan Djawanisme.

Dalam masalah penyebab terjadinya kebangkitan nasional, George McTurner Kahin, 1970, dalam Nationalism and Revolution In Indonesia, sangat berbeda dengan para penulis sejarah dari Barat. Kahin lebih menekankan faktor utama penyebabnya adalah Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia. Ditandaskan bahwa terbentuknya integritas nasional dan tumbuhnya kesadaran nasional di Indonesia, dipengaruhi oleh faktor utama berikut ini.

             Pertama, terbentuknya kesatuan agama bangsa Indonesia. Agama Islam dianut oleh 90 persen penduduk dan tidak hanya dianut oleh penduduk Jawa, tetapi juga dianut oleh penduduk luar Jawa. Kesamaan keyakinan Islam ini, menjadi dasar terbentuknya solidaritas perlawanan terhadap Kerajaan Protestan Belanda dan pemerintah colonial Belanda sebagai penjajah yang melancarkan politik Kristenisasi.

             Kedua, Islam tidak hanya sebagai agama yang mengajarkan perlunya membangun jamaah. Islam juga sebagai symbol perlawanan terhadap penjajah asing Barat.

             Ketiga, factor lain yang mendorong terbentuknya integritas nasional adalah adanya perkembangan Bahasa Melayu Pasar berubah menjadi Bahasa Persatuan Indonesia.

Ketiga factor tersebut, akibat deislamisasi sistem penulisannya, Islam tidak diakui sebagai pembangkit gerakan nasional. Justru Boedi Oetomo yang menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia sampai dengan kongresnya di Surakarta, 6-9 April 1928, oleh Kabinet Hatta diputuskan sebagai pelopor Kebangkitan Nasional.

Kongres BO Menolak Pelaksanaan Cita-cita Persatuan Indonesia

Keputusan Kabinet Hatta tentang Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), jelas terpengaruh oleh tulisan H. Colijn, 1928, dalam Koloniale Vraagstukken van Hedenen Morgen (Pertanyaan Kolonial Hari Ini dan Esok).” Dalam tulisan ini, Boedi Oetomo sebagai organisasi dari siswa STOVIA, didirikan Mei 1908 di Jakarta. Pada tahun 1909 organisasi ini mendapat pengakuan sebagai Badan Hukum dan telah memiliki 10.000 anggota dan tersebar dalam 40 afdeelingen.”"

Boedi Oetomo terlahir dari siswa School Tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA). STOVIA baru didirikan pada 1902, sebagai perubahan dari Sekolah Dokter Djawa dan lama studinya tiga tahun. Siswanya berasal dari Sekolah Dasar Bumiputera-Inlandsche school yang lama sekolahnya lima tahun. Demikian penjelasan Soemarsono Mestoko, 1986, dalam Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman. Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa Hollandsch Inlandschool (HIS) baru didirikan pada 1914 dan lama studinya tujuh tahun.

Timbullah pertanyaan, berapa usia pendiri Boedi Oetomo ketika belum lulus, bila organisasi ini didirikan pada 20 Mei 1908? Saat mendirikan Boedi Oetomo, Soetomo masih aktif sebagai siswa STOVIA, Saat itu, HIS belum ada karena baru didirikan pada 1914 M. Dengan demikian, Soetomo tentu berasal dari Sekolah Boemipoetera (Inlandsche school), Sekolah Rakyat, atau Sekolah Dasar yang lama studinya lima tahun.

Ketika Soetomo masih sebagai siswa STOVIA, 20 Mei 1908, walaupun berasal dari Sekolah Dasar, sudah berusia 20 tahun." Adapun ideologi yang ingin ditegakkannya adalah Nasionalisme Jawa sebagai lawan dari nasionalisme yang diajarkan oleh Djamiat Choir, yakni Islam, 17 Juli 1905. Pengaruh Nasionalisme Timur Tengah sangat kuat terhadap Djamiat Choir.

Guna mengimbanginya, para Boepati pendukung Boedi Oetomo, merasa perlu untuk menggantikan kepemimpinan Soetomo dalam Boedi Oetomo. Dengan demikian, pada Kongres Pertama Boedi Oetomo di Jogjakarta pada 3 Oktober 1908 M, pimpinan organisasi beralih ke tangan Boepati Karang Anyar, Raden Adipati Tirtokoesoemo sebagai Presiden Boedi Oetomo, 1908 - 1911 M.40

Pada saat itu, boepati merupakan tangan kanan pelaksana Indirect Rule System Sistem Pemerintahan Tidak Langsung) dari pemerintahan kolonial Belanda, Oleh karena itu, boepati bersikap sangat loyal kepada pemerintah kolonial Belanda. Lalu, bagaimana sikap Boedi Oetomo yang dipimpin oleh para bupati terhadap gerakan kebangkitan kesadaran nasional? Jika maknanasionalisme sebagai gerakan perlawanan terhadap imperialisme, berarti gerakan nasionalisme melawan pemerintah colonial Belanda. Sementara itu, boepati adalah pelaksana dari sistem pemerintahan tidak langsung imperialis Keradjaan Protestan Belanda. Mungkinkah para boepati sebagai pimpinan Boedi Oetomo dapat berpihak kepada gerakan kebangkitan nasional yang berjuang mengakhiri penjajahan?

Dalam Kongres Kedua Boedi Oetomo di Jogjakarta, 11-12 Oktober 1909,Dr. Tiipto Mangoenkoesoemo mengusulkan agar Boedi Oetomo membuka sistem penerimaan keanggotaan yang tidak terbatas dari bangsawan Jawa semata, tetapi terbuka bagi Indiers (“Anak Hindia"), yang lahir, hidup dan mati di tanah Hindia. Usul Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo tersebut ditolak" oleh Dr. Radjiman Wediodipoero atau Dr. Radjiman Wediodiningrat.

Ternyata pada Algemene Vergadering Boedi Oetomo di Bandung (1915 M), sikap Djawanisme semakin menguat. Keputusannya antara lain: mengekalkan dan mengoeatkan Agama Djawa." Sejalan dengan tujuan Boedi Oetomo sebagai pengimbang Djamiat Choir, diputuskanlah Boedi Oetomo mendasarkan laku utamanya menurut ajaran Agama Djawa. Suatu ajaran yang sangat bertentangan dengan pengertian amal saleh dari ajaran Islam. Pengertian saleh adalah cocok atau sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya.

Walaupun Boedi Oetomo sudah berusia sembilan tahun, tetap tidak berpihak kepada ajaran Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas rakyat saat itu. Lalu bagaimana gerakan Tri Koro Dharmo-Jong Java sebagai onderbouw dari Boedi Oetomo. Tentu orientasinya sejalan dengan induknya, Boedi Oetomo, yakni menentang Islam. Tri Koro Dharmo tidak dapat menerima saran Abdoel Moeis dalam vergadering di Bandung.

Hal ini terbukti dari sikap Tri Koro Dharmo yang menolak agenda diskusi yang membicarakan agama Islam, Mereka lebih mengutamakan membicarakan masalah teosofi, ajaran Kejawen, dan agama non-slam lainnya. Seperti halnya dengan Boedi Oetomo, Tri Koro Dharmo pun berbicara masalah bahasa dari kesenian Jawa sebagai budaya bangsawan Jawa, Hal tersebut tidak sejalan dengan tuntutan nasional mayoritas masyarakat Jawa saat itu, Akibatnya, Sjamsoeridjal keluar dari Tri Koro Dharmo dan atas nasihat Agoes Salim kemudian membangun Jong Islamieten Bond (JIB), 5 Jumadil Akhir 1343, Kamis Pon, 1 Januari 1925 M, Diikuti pula dengan bagian wanita, Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling (JIBDA). Dari fakta sejarah ini, terbukti di kalangan bangsawan Jawa terdapat kelompok: bangsawan Djawa Kedjawen dan bangsawan Jawa Islam.

Dapat dipahami pula mengapa Boedi Oetomo melalui medianya Djawa Hisworo, mengangkat artikel yang menghina Rasulullah Saw. Tidakkah sasaran artikel tersebut, sebagai reaksi Boedi Oetomo terhadap keputusan National Congres Centraal Syarikat Islam (Natico) di Bandung (1916 M) di Gedung Concordia atau sekarang Gedung Merdeka di Jalan Asia Afrika Bandung? National Congres Centraal Sjarikat Islam saat itu menuntut Se/f Government-Home Rule-Zelfbestuur (Pemerintah Sendiri atau Indonesia Merdeka.

Tuntutan kongres tersebut adalah Indonesia Merdeka yang pasti mengancam eksistensi Boepati atau Regent yang tergabung dalam Boedi Oetomo, Tidakkah para Boepati sebagai kepanjangan tangan pemerintahan kolonial Belanda serta imperialis Keradjaan Protestan Belanda? Oleh karena itu, melalui Djawa Hisworo, Boedi Oetama memberikan reaksinya langsung menghina Rasulullah Saw.

Hal ini dijawab oleh Sjarikat Islam dengan membangun Tentara Rasoeloellah Saw yang menuntut agar penulis di Djawa Hisworo meminta maaf ke Indonesia dan menarik pernyataan tentang penghinaannya terhadap Rasulullaah SAW.

Mr. A.K. Pringgodigdo, 1960, dalam Sedjarah Pergerakan Rak Jat Indonesia, menuliskan bahwa  di Boedi Oetomo di Surakarta (6-9 April 1928), memutuskan  Boedi Oetomo menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia, Walaupun sebenarnya Boedi Oetomo sudah berusia 20 tahun (1908-1928), keputusannya menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia

Artinya, Boedi Oetomo bersikeras menjadikan organisasi tertutup bagi segenap suku bangsa Indonesia lainnya walaupun hanya sebagai anggota. Hal ini karena Boedi Oetomo hanya untuk bangsawan Jawa, tetapi terbuka untuk orang-orang yang dipersamakan haknya dengan orang Eropa. Yang dipersamakan haknya dengan orang Eropa. Dengan alasan Cina sebagai warga negara kelas dua dan Belanda sebagai warga negara kelas satu, mereka dapat diterima sebagai anggotanya. Sebaliknya, suku bangsa Indonesia lainnya, non-Jawa, dan suku Jawa nonbangsawan, tidak dapat diterima sebagai anggotanya.

Dari realitas fakta sejarah, Boedi Oetomo jelas-jelas menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia, tetapi mengapa diputuskan hari lahirnya 20 Mei 1908, sebagai Hari Kebangkitan Nasional Indonesiat Tidakkah lebih tepat bila dinilai sebagai Hari Kebangkitan Kembali Kaum Feodal Jawa.

Penulis pernah mengangkat artikel, “Benarkah 20 Mei Sebagai Hari Kebangkitan Nasional? Hari Kebangkitan Sarekat Dagang Islam 16 Oktober 1905, Lebih Meyakinkan” Artikel tersebut dimuat di Harian ABADI, Senen, 2 Rabiul Awwal 1389 H atau 19 Mei 1969, Kemudian disusul oleh Mohamad Roem, “Kongres Nasional Pertama Centraal Sarekat Islam”. Harian ABADI, Senin, 22 Djuni 1970, 17 Ra biul Achir 1390 H.

 Boedi Oetomo Pengimbang Djamiatul Choir

Berdirinya Boedi Oetomo sebagai kebijakan balance of power dari pemerintah kolonial Belanda, Organisasi ini didirikan untuk mengimbangi gerakan kebangkitan pendidikan Islam yang dipelopori oleh Djamiat Choir, 13 Jumadil Awwal 1323, Senin Kliwon, 17 Juli 1905, di Jakarta, oleh kelompok sayid atau bangsawan Arab yang terdiri atas:

1.     Sajid Al Fachir bin Abdoerrahman al Masjhoer,

2.     Sajid Mohammad bin Abdoellah bin Shihab,

3.     Sajid Idroes bin Achmad bin Shihab,

4.     Sajid Sjehan bin Shihab.

Para sayid tersebut, mendirikan sekolah di Tanah Abang dan Krukut Batavia. Waktunya bersamaan dengan akan dilaksanakan Politik Etis di bidang pendidikan. Dengan adanya sekolah ini, Djamiat Choir memerlukan guru. Untuk itu, dimintakan guru-guru dari Al-Azhar Kairo, Mesir. Aktivitas Pendidikan dengan mendatangkan guru-guru dari timur tengah yang sedang bangkit gerakan nasionalnya merupakan ancaman bagi kelestarian penjajah di Indonesia.

Apalagi enam tahun kemudian, Djamiat Choir berhasil mendatangkan Syeikh Ahmad Syurkati seorang reformis yang berasal dari Sudan. Sudan adalah tempat lahir Imam Mahdi yang berhasil mengganjal usaha imperialis Keradjaan Protestan Anglikan Inggris dalam menanamkan kekuasaannya di Sudan. Hanya karena bantuan Mesir, Sudan menjadi negara terjajah oleh Inggris. Walaupun Syekh Syurkati sendiri sebagai tokoh pembaruan Islam, ia tidak ikut serta mengembangkan keyakinan atau ajaran tentang Imam Mahdi.

Semula, keinginan Djamiat Choir mendatangkan guru dari Al-Azhar Mesir, tidak segera dapat dipenuhi. Saat itu, Syekh Syurkati masih studi di Makkah. Baru pada 1911 M, Syekh Syurkati menjadi guru Djamiat Choir. Sebagai guru, Syekh Syurkati pun menularkan semangat gerakan nasional yang sedang terjadi di Timur Tengah, kepada murid-muridnya di Batavia.

Untuk mengantisipasi dan mengimbangi Djamiat Choir, atas inisiatif Bupati Serang Banten, P.A.A Achmad Djajadiningrat, dibangun sebuah organisasi imbangan yang berada di Batavia. Organisasi dipimpin dari kalangan bangsawan Jawa.

Adapun nama organisasi tandingannya, menurut P.A.A. Achmad Djajadiningrat, harus sama pula seperti Djamiat Choir. Untuk itu, dipilihlah nama Boedi Oetomo." Nama ini sebagai pengalihbahasaan dari bahasa Arab ke bahasa Jawa. Tidakkah Djamiat Choir berarti "jamaah yang baik'? Kemudian jika diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa menjadi Boedi Oetomo. Jika Djamiat Choir lebih mengutamakan amal saleh menurut ajaran Islam, Boedi Oetomo juga mengutamakan laku utama menurut ajaran Agama Jawa.

 Apabila Djamiat Choir mengimani manusia sebagai ciptaan Allah, Dr. Soetomo memercayai manusia sebagai penjelmaan akhir dari Tuhan. Bila Djamiat Choir menganjurkan shalat, sebaliknya Dr. Soetomo sebagai pendiri Boedi Oetomo yang memercayai dirinya sebagai penjelmaan terakhir dari Tuhan, sesuai ajaran

agama Djawa mengajarkan manusia tidak perlu mendirikan shalat.

 Syarikat Dagang Islam (SDI) sebagai Pembangkit Kesadaran Nasional

Kebijakan pemerintah colonial Belanda dengan landasan imperialisme modernnya, dalam penguasaan Nusantara melibatkan pemilik modal asing. Indonesia dijadikan sumber bahan mentah dan pasar bagi industry penjajah Barat. Jika demikian realistis tantangan yang dihadapi oleh Ulama?

             Hadji Samanhudi 1285 – 137 (1285 - 1376 H/1868 - 1956 M), segera memberikan jawaban yang cepat dengan membangun organisasi Sjarikat Dagang Islam, 16 Sya'ban 1323, Senin Legi, 16 Oktober 1905, di Surakarta. Guna memperluas informasi dalam upaya pembentukan organisasi niaga tersebut, diterbitkanlah terlebih dahulu buletin, Taman Pewarta, yang mampu bertahan selama tiga belas tahun, 1902-1915 M. Selanjutnya, segera membangun organisasi kerjasama niaga dengan para wirausahawan Cina dengan nama Kong Sing.

Pemerintah kolonial Belanda menilai berdirinya Sjarikat Dagang Islam (SDI) ini bahaya besar bagi eksistensi dan perkembangan imperialis Belanda. Apalagi dengan adanya kerja sama niaga, antara Pribumi Islam dengan Cina, dengan nama organisasi niaganya, Kong Sing. Oleh karena itu, pemerintah kolonial Belanda merasa perlu membangun organisasi tandingan

Kebangkitan Sjarikat Dagang Islam merupakan lambang awal dari suatu keberhasilan gerakan pembaruan sistem organisasi Islam. Hal ini karena suatu pembaharuan atau reformasi memerlukan ketangguhan organisasi dan kontuinitas perolehan dana. Upaya kebangkitannya menjadikan pasar sebagai lahan operasi aktivitasnya. Di pasar, Sjarikat Dagang Islam dapat membangun perolehan dana. Guna menjaga kontinuitas gerakannya, dibangkitkanlah organisasi niaga arta, 1902-1915, yang

Hadji Samanhoedi sebagai seorang haji dan wirausahawan, tidak hanya memiliki karyawan pabrik batiknya semata, tetapi juga para pedagang di pasar. Dengan menamakan organisasinya dengan nama Islam, gerakan usahanya yang Islami dan dipimpin oleh seorang haji, menjadikan Syarikat Dagang Islam memperoleh tempaat di hati masyarakat muslim secara luas. SDI memperoleh tempat di hati masyarakat Muslim secara luas. Dibawah kondisi kebangkitan Ulama melalui aktivitas pasar, pemerintah colonial Belanda berupaya mendirikan organisasi tandingan, seperti Syarikat Dagang Islamiyah di Bogor  pada tahun 1909 dengan dipimpin oleh R.M.T Radensoerjo.

R.M.T. Adhisoerjo (1880 - 1919 M), sebagai sekretaris Sarikat prijaji, I906 M, ternyata pelaku yang terpilih dan diangkatlah sebagai pendiri Sarekat Dagang Islamijah di Bogor, 1909 M. Organisasi terakhir ini, sebagai organisasi tandingan,dengan label Islamijah. Namun, dalam upacara peresmiannya, dihadiri pula oleh Asisten Residen Bogor, CJ. Feith yang sekaligus diangkat sebagai Pelindung. Mengapa demikian?

Selain itu, perlu diperhatikan pula, Sarikat Prjiaji memiliki media cetak, Medan Prijaji (1907-1912 M). R-M.T. Adhisoerjo sebagai Hoofd Redacteur (Pimpinan Redaksi) yang berkedudukan di Buitenzorg atau Bogor. Adapun Sarikat Prijaji, diketuai oleh Raden Mas Prawirodi ningrat, Jaksa Kepala Betawi, penyandang bintang Ridder Oranje Nassau. Antara Sarikat Prijaji dengan Boedi Oetomo, menurut Pramoedya Ananta Toer dalam Sang Pemula, terdapat kesamaan tujuan. R.M.T. Adhisoerjo juga menjadi anggota dari Boedi Oetomo Afdeeling Il Bandung.

Dari pengalaman kerja ini, R.M.T. Adhisoerjo, pribadinya sangat dikenal oleh para pejabat pemerintah kolonial Belanda dan Boepati. Sebelum bekerja sebagai redaktur dan redaktur pendamping, ia terlebih dahulu bekerja sama dengan Boepati Cianjur, Raden Adipati Aria Prawiradiredja yang diangkat sebagai Boepati pada 24 Agustus 1864, pada saat Tanam Paksa (1830 - 1919 M) masih berlaku.

Atas jasa Boepati Cianjur terhadap pemerintah kolonial Belanda, ia memperoleh bintang Orde Oranje Nassau, SWO, dan Songsong Kuning (Payung Kuning). Hal ini karena berhasil membantu pelaksanaan Tanam Paksa Kopi di Cianjur. Dampak selanjutnya, Tanam Paksa dapat berlangsung hingga 1919 M. Oleh karena itu, Raden Adipati Aria Prawiradiredja, menjadi boepati terkaya di Pulau Jawa dari keuntungan Tanam Paksa Kopi. Kekayaannya didapat dari presentase keuntungan Tanam Paksa per tahun, f.40.000 ditambah gaji resminya yang besar.

Tidaklah mengherankan bila Boepati Cianjur yang kaya raya ini, bersedia menjadi donatur, Soenda Berita (1903 - 1905M)  yang dipimpin oleh R.M.T. Adhisoerjo. Walaupun demikian, media cetak ini pun tidak mampu berumur panjang. Hal ini karena R.M.T. Adhisoerjo pergi ke Pulau Bacan, Maluku dan menikah dengan Prinses Fatimah, saudara Soeltan Oesman Sjah. Sekembalinya dari P. Bacan, R.M.T. Adhisoerjo tidak melanjutkan penerbitan Soenda Berita.

R.M.T. Adhisoerjo malah kemudian memimpin penerbitan buletin Medan Prijaji (1907-1912 M) dan Poetri Hindia (1 908 - 1911 M), berkala wanita yang memperoleh hadiah penghargaan dari Iboe Soeri Emma, 1909 M. Mengapa mendapat penghargaan yang demikian besar ini? Padahal, Berkala Poetri Hindia ini, dipimpin oleh pria. Selain dipimpin oleh R.M.T. Adhisoerjo, pemimpin utama berkala ini adalah R.T.A. Tirtokoesoemo, Regent Karang Anyar dan pimpinan Boedi Oetomo setelah kongres Boedi Oetomo di Jogjakarta. 

Muhammadiyah ditandingi oleh Taman Siswa

Sekolah-sekolah Muhammadiyah dari segi jumlah dan keragamannya jauh lebih besar daripada
Taman Siswa bentukan Ki Hadjar Dewantara yang tanggal lahirnya
dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Taman Siswa pun baru berdiri 3 Juli 1922. Sementara Muhammadiyah berdiri 18 November 1912, bahkan KH Ahmad Dahlan sudah mendirikan sekolah tanpa badan hukum tahun 1911.

Tak heran, menurut sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara dalam buku Api Sejarah, penetapan Hari Pendidikan Nasional dilakukan ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat oleh Ki
Hadjar Dewantara yang menetapkan hari lahirnya sendiri sebagai Hari
Pendidikan Nasional.
Sekolah Muhammadiyah bercorak Islam dan
nasionalis, sedangkan Taman Siswa bercorak kebatinan dan Theosofi Barat.Tokoh Theosofi adalah tokoh yang mengusahakan bersatunya pribumi dengan Belanda dalam Uni-Indonesia Belanda, bukan kemerdekaan Indonesia.

Buya Hamka menulis dalam bukunya Perkembangan Kebatinan di Indonesia bahwa Taman Siswa mengamalkan apa yang mereka sebut sebagai Panca Dharma alias Lima Pengabdian, yaitu:Kemerdekaan, Kodrat Alam, Kebudayaan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan.Taman Siswa tidak menyebutkan Ketuhanan sehingga tidak sesuai dengan Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Juga, tidak sesuai dengan pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yaitu “ Negara Berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”. Seorang Residen Belanda, Janquire, juga dengan tegas menyatakan bahwa cita-cita Taman Siswa “anti-Tuhan” dan “anti-agama”. (Artawijaya, “Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara”).

Sekolah-sekolah Muhammadiyah secara garis besar dibagi dua:Sekolah Agama: Muallimin, Muallimat, Diniyah ibtidaiyah, Diniyah Wustho dan sekolah Tabligh Kulliyatul Muballighin. Sekolah Umum terdiri dari: Volks School Muhammadiyah (sekolah Rakyat/Sekolah Dasar), Vevrolg School (lanjutan Sekolah Rakyat) Normal School, Cursus Voor Volks Onderwiojzer (CVO), kursus untuk calon guru Vervolg School, HIS, SChakel School, MULO, AMS, HIK. Sementara Taman Siswa hanya 1 macam.
Sekolah Muhammadiyah juga berkembang. Cabangnya ke
seluruh Indonesia dan masih eksis sampai sekarang. Sedangkan Sekolah Taman Siswa hanya di situ-situ saja dan tidak terlalu eksis hingga sekarang.

MC Ricklefs seorang guru besar dari Monash University Australia menulis bahwa kelahiran Taman Siswa adalah bertujuan untuk membendung dan meredam Pendikan Muhammadiyah yang cenderung radikal dan Non Kooperatif. Artinya, Pendidikan Muhammadiyah dengan asas Islam lebih jelas menyuarakan kemerdekaan Indoesia dan tanpa kompromi dengan Belanda. Ki Hadjar Dewantara lebih dekat dengan orang Belanda melalui gerakan Freemasonry-nya. Ada beberapa buku yang menjelaskan soal ini seperti buku Tarekat Mason Bebas dan buku Gerakan Theosofi karya Iskandar P. Nugraha. Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kiai Dahlan, menurut Adaby Darban dalam buku Peran Serta Islam dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911.

Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kiai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kiai Dahlan secara informal. Dalam tulisan Djarnawi Hadikusuma (1911), disebutkan kampung Kauman Yogyakarta, merupakan ”Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah agama, yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam waktu itu. Kegiatan belajar-mengajar justru mengambil tempat di dalam sebuah gedung milik ayah Kiai Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis. Mengajarkan agama dengan cara baru, di samping memberikan pengetahuan ilmu-ilmu umum. Jadi sekarang, layakkah 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional? Sebenarnya Hari Pendidikan adalah pada 1 Agustus, hari lahirnya KH Ahmad Dahlan–bukan 2 Mei, tanggal lahirnya Ki Hadjar Dewantara.

 

 

Sumber : Buku Api Sejarah Jilid Kesatu karya Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara.

https://sangpencerah.id/2014/05/taman-siswa-wujud-ketakutan-ki-hadjar/

 


TOLERANSI DALAM KEBHINNEKAAN BANGSA

  TOLERANSI DALAM KEBHINNEKAAN BANGSA   Toleransi berasal dari bahasa Latin 'tolerantia' yang memiliki arti kelembutan hati, kel...