SEJARAH DEMOKRASI DI INDONESIA
Pengertian demokrasi
Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang
seluruh warga negaranya memiliki hak
yang sama dalam pengambilan kebijakan atau keputusan yang dapat mengubah
kondisi hidup setiap masyarakat. Demokrasi memiliki kelebihan dalam menentukan
pemimpinnya secara langsung dalam sebuah sistem pemilihan umum (Pemilu).
Sejak Indonesia
merdeka pada tahun 1945, negara kita sudah beberapa kali mengganti model
demokrasinya.
Adapun pergantian model demokrsi di Indonesia sebagai berikut :
a) 1. Demokrasi Liberal atau Parlementer
Demokrasi ini terbentuk pada tahun 1949 sampai
dengan tahun 1959.
Pada
saat Indonesia menganut sistem demokrasi ini, pemerintahan Indonesia dipimpin
oleh perdana menteri sebagai kepala pemerintahan bersama presiden sebagai
kepala negara.
Demokrasi parlementer merupakan sebuah sistem
yang mana rakyat memiliki keleluasaan untuk ikut campur dalam urusan politik
dan diperbolehkan membuat partai sendiri.
Tokoh – tokoh dari demokrasi parlementer atau liberal ini adalah Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir. Menurut mereka sistem pemerintahan parlementer atau liberal mampu menciptakan partai politik yang mampu menciptakan partai politik yang bisa beradu pendapat dalam parlemen serta sebagai perwujudan dari demokrasi yang sesungguhnya yaitu dari rakyat, bagi rakyat, dan untuk rakyat.
Penerapan sistem demokrasi parlementer atau
liberal ini dimulai pada tanggal 17 Agustus 1950, Republik Indonesia Serikat
(RIS), yang merupakan bentuk negara hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar
(KMB) dan pengakuan kedaulatan dengan Belanda, dan resmi dibubarkan dan diganti
dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta sistem pemerintahannya
berubah menjadi Demokrasi Parlementer dan beradasarkan Undang – Undang Dasar
Sementara (UUDS) 1950.
Kendati awal kelahiran dari demokrasi parlementer atau liberal merupakan semangat revolusi, namun akhirnya mengakibatkan persaingan yang tidak sehat. Bahkan, bisa dikatakan Indonesia mengalami ketidakstabilan pemerintahan.
Secara garis besar, kabinet – kabinet
Indonesia terbagi menjadi tujuh era dibawah pimpinan perdana menteri. Berikut
ini ketujuh masa tersebut :
1. Kabinet Natsir (mulai September 1950 sampai
Maret 1951)
Kabinet ini sekuat tenaga ingin
merangkul semua partai agar terlibat di parlemen. Namun, Mohammad Natsir selaku
perdana menteri kesulitan memberikan posisi kepada partai politik yang
berseberangan.
Mohammad Natsir merupakan tokoh Masyumi (Partai Islam yang
sangat kuat pada waktu itu), usahanya untuk merangkul PNI (Partai Nasional
Indonesia) selalu kandas.
PNI bahkan melakukan tuntutan terhadap Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950 yang dikeluarkan Mohammad Natsir. Sebagian besar anggota parlemen berpihak ke PNI sehingga puncaknya Mohammad Natsir mengundurkan diri dari perdana menteri.
2. Kabinet Sukiman (mulai April 1951 sampai
Februari 1952)
Sukiman merupakan anggota Masyumi ketika itu, beberapa kebijakan Sukiman ditentang oleh PNI, bahkan kabinetnya mendapatkan mosi tidak percaya dari partai politik PNI. Kabinet Sukiman berakhir pada tanggal 23 Februari 1952.
3. Kabinet Wilopo (mulai April 1952 sampai juni
1953)
Wilopo termasuk perdana menteri yang
berhasil mendapatkan masyarakat suara parlemen
Tugas Wilopo ketika menjalankan pemilu untuk memilih anggota parlemen dan konstituante.akan tetapi, sebelumpemilu dilaksanakan kabinet Wilopo mengalami gulung tikar/bangkrut.
4. Kabinet Ali Sastroamidjojo (mulai Juli 1953
sampai Juli 1955)
Ali Sastroamidjojo melanjutkan tugas kabinet sebelumnya untuk melaksanakan Pemilu. Pada 31 Mei 1954, dibentuk Panitia Pemilihan Umum Pusat dan Daerah. Rencananya kala itu, Pemilu akan diadakan pada 29 September (DPR) dan 15 Desember (Konstituante) 1955. Akan tetapi, lagi-lagi seperti yang dialami Kabinet Wilopo, Kabinet Ali Sastroamidjojo bubar pada Juli 1955 dan digantikan dengan Kabinet Burhanuddin Harahap di bulan berikutnya.
5. Kabinet Burhanuddin Harahap (mulai Agustus 1955 sampai Maret 1956)
Burhanuddin Harahap
dengan kabinetnya berhasil melaksanakan Pemilu yang sudah direncanakan tanpa
mengubah waktu pelaksanaan. Pemilu 1955 berjalan relatif lancar dan
disebut-sebut sebagai pemilu paling demokratis. Kendati begitu, masalah
ternyata terjadi pula. Sukarno ingin melibatkan PKI dalam kabinet kendati tidak
disetujui oleh koalisi partai lainnya. Alhasil, Kabinet Burhanuddin Harahap
bubar pada Maret 1956.
6. Kabinet Ali Sastoamidjojo II (Maret 1956-Maret 1957)
Berbagai masalah juga dialami Kabinet Ali Sastoamidjojo untuk kali kedua ini, dari persoalan Irian Barat , otonomi daerah, nasib buruh, keuangan negara, dan lainnya. Ali Sastroamidjojo pada periode yang keduanya ini tidak berhasil memaksa Belanda untuk menyerahkan Irian Barat. Kabinet ini pun mulai menuia kritik dan akhirnya bubar dalam setahun.
7. Kabinet Djuanda (Maret 1957-Juli 1959)
Terdapat 5 program kerja utama yang dijalankan Djuanda
Kartawijaya, yakni membentuk dewan, normalisasi keadaan Indonesia, membatalkan
pelaksanaan KMB, memperjuangkan Irian Barat, dan melaksanakan pembangunan.
Salah satu permasalahan ketika itu muncul ketika Deklarasi Djuanda diterapkan.
Kebijakan ini ternyata membuat negara-negara lain keberatan sehingga Indonesia
harus melakukan perundingan terkait penyelesaiannya.
Akhir Demokrasi
Parlementer Singkatnya waktu periode pemerintahan kabinet-kabinet membuat
keadaan politik Indonesia tidak stabil, bahkan hal ini ditakutkan berimbas pada
segala aspek lain negara. Hal tersebut akhirnya terselesaikan setelah Presiden
Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Di dalamnya, termuat
bahwa Dewan Konstituante dibubarkan dan Indonesia kembali ke UUD 1945 alias
meninggalkan UUDS 1950. Selain itu, dibentuk juga Majelis Permusyaratan Rakyat
Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Demokrasi
Liberal yang sebelumnya sudah membawa kekacauan terhadap stabilitas
pemerintahan akhirnya digantikan dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang berlaku
sejak 1959 hingga 1965.
Karakteristik
demokrasi parlementer
·
Parlemen memegang kekuasaan politik sangat
besar
·
Sistem multipartai. Parlemen terdiri dari
wakil-wakil partai yang berasal dari beragam aliran/ideologi
·
Pengawasan yang ketat dari parlemen menyebabkan
akuntabilitas pejabat negara sangat tinggi
·
Kabinet pemerintahan koalisi tidak stabil dan
kerap berganti
·
Pemilu 1955 terlaksana sangat demokratis
·
Hal berserikat dan berkumpul terjamin dengan
jelas
Peralihan
demokrasi parlementer
·
Instabilitas politik dan pemberontakan di
berbagai daerah
·
Pemulihan dilakukan dengan mengakhiri Demokrasi
Parlementer dan menerapkan Demokrasi Terpimpin
· Dekrit Presiden 5 Juli 1959 membubarkan Konstituante dan kembali ke UUD 1945
b) 2. Demokrasi Terpimpin
Demokrasi ini terbentuk pada tahun 1959 sampai dengan tahun 1965.
Sejarah masa Demokrasi Terpimpin di Indonesia terkait erat dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sistem politik dan pemerintahan ini bersifat terpusat yang membuat kekuasaan Presiden Sukarno menjadi amat kuat. Sebelumnya, Indonesia menerapkan Demokrasi Liberal (1950-1959). Namun, sistem ini tidak stabil, kabinet sering berganti yang akhirnya berdampak pada tidak dijalankannya program kerja kabinet sebagaimana mestinya.
Di masa Demokrasi Liberal, partai-partai politik saling bersaing dan menjatuhkan. Sementara itu, Dewan Konstituante yang dibentuk melalui Pemilihan Umum (Pemilu) 1955 belum juga menyelesaikan tugasnya yakni menyusun UUD yang baru.
Dekrit Presiden 1959 Tanggal 5 Juli
1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit. Dikutip dari Dasar dan Struktur
Ketatanegaraan Indonesia (2001) karya Mahfud M.D, berikut ini isi Dekrit
Presiden 5 Juli 1959: Pembubaran konstituante. Berlakunya kembali UUD 1945.
Tidak berlakunya UUDS 1950. Dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Dekrit Presiden
5 Juli 1959 menandai berakhirnya Demokrasi Liberal dan digantikan dengan
Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin yang berlaku dari 1959 hingga 1965
memiliki artian bahwa demokrasi dengan pengakuan kepemimpinan.
Konsep & Tujuan Demokrasi
Terpimpin Demokrasi Terpimpin merupakan suatu gagasan pembaruan kehidupan
politik, sosial, dan ekonomi. Gagasan ini dikenal sebagai Konsepri Presiden
1957. Terdapat dua pokok pemikiran dalam konsepsi tersebut, di antaranya:
Pembaruan struktur politik harus diberlakukan sistem Demokrasi Terpimpin yang
didukung oleh kekuatan yang mencerminkan aspirasi masyarakat secara seimbang.
Membentuk
kabinet gotong royong berdasarkan imbangan kekuatan masyarakat, yang terdiri
atas wakil partai politik dan kekuatan golongan politik baru atau golongan
fungsional alias golongan karya. Tujuan sistem Demokrasi Terpimpin adalah untuk
menata kembali kehidupan politik serta pemerintahan berdasarkan UUD 1945.
Namun, pada pelaksanaannya justru kerap melanggar UUD 1945. Sistem Demokrasi
Terpimpin mulai ditinggalkan setelah terjadi peristiwa Gerakan 30 September
(G30S) 1965 yang menjadi awal melemahnya pengaruh dan kekuasaan Presiden
Sukarno.
Karakteristik Demokrasi Terpimpin
·
Sistem kepartaian melemah karena kekuasaan
presiden yang semakin besar
·
Peran kontrol DPR Gotong Royong (DPR-GR)
melemah
·
Pemilu tidak terselenggara Upaya konsolidasi
kekuatan politik dengan cara pembentukan Kabinet Gotong Royong yang mewakili
semua fraksi dan partai
·
Upaya konsolidasi kekuatan politik dengan cara
pembentukan Dewan Nasional yang dibentuk dari golongan fungsional (wakil buruh,
petani, pendeta, ulama, wanita, dll)
·
Sentralisasi kekuasaan di tangan presiden
·
Kewenangan daerah terbatas
·
Kebebasan pers dibatasi, sejumlah media
dibredel Peralihan Kudeta gagal PKI lewat G30S pada 1965 Kepemimpinan yang
dijalankan tidak memperbaiki kemelut ekonomi dan sosial Soekarno tersingkir
dari kekuasaan dan digantikan Soeharto
Peralihan
·
Kudeta gagal PKI lewat G30S pada 1965
·
Kepemimpinan yang dijalankan tidak memperbaiki
kemelut ekonomi dan sosial
·
Soekarno tersingkir dari kekuasaan dan
digantikan Soeharto
c) 3. Demokrasi Pancasila atau Orde Baru
Demokrasi ini terbentuk pada tahun 1965 sampai
dengan tahun 1998.
Era baru dalam pemerintahan dimulai setelah melalui masa transisi yang singkat yaitu antara 1966-1968. Ketika Jenderal Soeharto dipilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Pancasila dan Asasnya Era pemerintahan pada masa Soeharto dikenal sebagai Orde Baru dengan konsep Demokrasi Pancasila.
Visi utama pemerintahan Orde Baru ini adalah untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan visi tersebut, Orde Baru memberikan harapan bagi rakyat Indonesia. Terutama yang berkaitan dengan perubahan-perubahan politik. Perubahan politik dari yang bersifat otoriter pada masa demokrasi terpimpin di bawah Presiden Soekarno menjadi lebih demokratis pada Orde Baru. Rakyat percaya terhadap pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto atas dasar beberapa hal, yaitu: Soeharto sebagai tokoh utama Orde Baru dipandang sebagai sosok pemimpin yang mampu mengeluarkan bangsa Indonesia dari keterpurukan. Soeharto berhasil membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menjadi musuh Indonesia pada masa ini. Soeharto berhasil menciptakan stabilitas keamanan Indonesia pasca pemberontakan PKI dalam waktu relatif singkat.
Tetapi harapan rakyat tersebut tidak sepenuhnya terwujud. Karena sebenarnya tidak ada perubahan subtantif dari kehidupan politik Indonesia. Antara Orde Baru dan Orde lama sebenarnya sama-sama otoriter. Dalam perjalanan politik pemerintahan Orde Baru, kekuasaan Presiden merupakan pusat dari seluruh proses politik di Indonesia. Lembaga kepresidenan adalah pengontrol utama lembaga negara lain yang bersifat suprastruktur (DPR, MPR, DPA, BPK, dan MA) maupun infrastruktur (LSM, Partai Politik dan sebagainya). Soeharto mempunyai sejumlah legalitas yang tidak dimiliki oleh siapa pun seperti Pengemban Supersemar, Mandataris MPR, Bapak Pembangunan dan Panglima Tertinggi ABRI. Berdasarkan kondisi tersebut, pelaksanaan demokrasi Pancasila masih jauh dari harapan. Pelaksanaan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen hanya dijadikan alat politik penguasa. Kenyataan yang terjadi, pelaksanaan Demokrasi Pancasila sama dengan kediktatoran.
Karakteristik Demokrasi Pancasila atau Orde
Baru
·
Kekuasan presiden sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan sangat tinggi
·
Partai politik dibatasi jumlah dan peran
politiknya
·
Pemilu terselenggara teratur setiap lima tahun
·
Tidak ada pergantian kekuasaan politik, Soharto
berkukasa selama lima periode pemilu
·
Rekrutmen politik bersifat tertutup
·
Peran militer sangat kuat dengan konsep
dwifungsi ABRI
·
Kebebasan pers dibatasi. Pembredelan media
massa kerap terjadi
Peralihan Demokrasi Pancasila atau Orde Baru
·
Di akhir Orde Baru, perekonomian kacau, harga
BBM dan kebutuhan pokok melambung
·
Demonstrasi massa dimotori mahasiswa menuntut
reformasi dan mundurnya Soeharto
·
Pemerintahan mandek akibat sebagian besar
menteri mengundurkan diri
·
Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden
pada 21 Mei 1998
d) 4. Demokrasi reformasi
Demokrasi ini terbentuk pada tahun 1998 sampai
dengan sekarang.
Bacharuddin Jusuf Habibie, adalah wakil presiden
selama masa jabatan presiden sebelumnya, Soeharto. Dia menggantikan Soeharto pada
tahun 1998 ketika Suharto turun dari kursi kepresidenan. Namun, hal ini tidak
mengakhiri sistem politik yang telah diterapkan selama Orde Baru. Banyak orang
Indonesia sangat mencurigai Habibie karena kedekatannya dengan Soeharto (yang
telah menjadi sosok ayah bagi Habibie) dan fakta bahwa dia adalah pemain
penting dalam sistem patronase politik Soeharto. Penolakan Habibie untuk
memerintahkan penyelidikan menyeluruh terhadap harta kekayaan Soeharto hanya
memperkuat rasa ketidakpercayaan ini.
Habibie tidak memiliki
pilihan lain selain meluncurkan program-program reformasi. Dia akan melakukan
"bunuh diri politik" jika tidak mematuhi tuntutan masyarakat
Indonesia itu. Selama masa kepresidenan Habibie, 30 undang-undang (UU) baru
disetujui oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), beberapa di antaranya
ditandai dengan perbedaan-perbedaan fundamental dengan perpolitikan di masa
lampau.
Sejumlah tindakan reformasi penting adalah:
- Dimulainya kebebasan pers
- Pemberian izin pendirian partai-partai
politik dan serikat-serikat buruh baru
- Pembebasan tahanan-tahanan politik
- Pembatasan masa jabatan presiden menjadi
dua periode lima tahun
- Desentralisasi kekuasaan ke daerah
Keputusan penting lainnya adalah penjadwalan
pemilihan umum baru, yang diselenggarakan pada bulan Juni 1999. Kendati begitu,
parlemen belum mempunyai niat untuk mengurangi pengaruh politik militer dan
memerintahkan penyelidikan terhadap kekayaan Suharto.
Indonesia memasuki masa peningkatan kekerasan di
daerah. Jawa Timur dilanda pembunuhan misterius (yang mungkin dilakukan oleh
unit-unit tentara) sementara kekerasan agama berkobar di Jakarta, Ambon
(Maluku), Kupang (Nusa Tenggara Timur) beserta Kalimantan Barat. Selain itu,
ada tiga daerah yang memberontak terhadap Pemerintah Pusat: Aceh (Sumatera),
Irian Jaya (Papua) dan Timor Timur.
Ini semua menghasilkan kondisi yang membuat para
investor asing sangat ragu-ragu untuk berinvestasi, sehingga menghambat
pemulihan ekonomi Indonesia. Tidak kalah penting adalah pembersihan sektor
keuangan Indonesia, yang telah menjadi jantung dari Krisis Keuangan Asia di
akhir tahun 1990-an. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), didirikan pada Januari 1998, menjadi sebuah
lembaga yang kuat yang melakukan serangkaian kegiatan terpadu dan komprehensif
mencakup masalah seperti program liabilitas bank, pemulihan dana negara,
restrukturisasi perbankan, restrukturisasi pinjaman bank, dan penyelesaian
sengketa kepemilikan saham.
Kasus Timor Timur adalah salah satu hal yang
menyebabkan banyak konflik, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Timor Timur telah mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1975 tetapi diinvasi
oleh Indonesia pada tahun berikutnya. Hal ini tidak mengakhiri keinginan Timor
Timur untuk merdeka. Habibie memiliki sikap terbuka terhadap kemerdekaan Timor
Timur. Dia menyatakan bahwa jika Timor Timur menolak status provinsi otonomi
khusus di Indonesia, maka Timor Timur dapat merdeka.
Karakteristik Demokrasi Reformasi
- Sistem pemerintahan presidensial
- Parlemen terdiri dari banyak partai (multipartai)
- Sistem pemilihan langsung untuk presiden dan kepala daerah
- Lembaga perwakilan dibagi menjadi DPR dan DPD
- Desentralisasi kekuasaan dengan model otonomi daerah
- Kebebasan pers lebih baik
- Dibentuknya komisi-komisi independen negara seperti KPK
https://tirto.id/sejarah-masa-demokrasi-parlementer-atau-liberal-di-indonesia-gbDP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar